Pada dasarnya hidup beriman itu bukan hanya dalam rangka untuk mendapatkan sesuatu. Beriman sesungguhnya adalah ketika seseorang bertindak sesuatu, berbuat sesuatu bahkan kehilangan sesuatu. Ayub, menjadi contoh model beriman yang kehilangan sesuatu. Dalam Ayub 19: 26 — “Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, … ” Dia beriman dan dia kehilangan hampir seluruh kepunyaannya. Harta, ternak, bahkan keluarga yang dikasihinya.
Dimensi iman sesungguhnya bukan soal apa yang kita dapat. Bukan pula soal doa-doa yang dijawab Tuhan, segala keinginan yang digapai bersama Tuhan, dan dengan mudah kita berkata bahwa kita beriman; Kok enak? Padahal sebetulnya kita yang banyak keinginan. Ditambah lagi orang yang gagal dalam usaha dinilai kurang beriman. Keluarga yang tidak memiliki keturunan dipandang kurang berpengharapan. Yang terhindar dari kecelakaan, yang sembuh dari penyakit dianggap memiliki iman lebih besar daripada mereka yang menjadi korban dan menderita sakit.
Banyak orang yang salah menghidupi iman mereka. Sayangnya, banyak ajaran yang disampaikan membuat umat gagal memahami imannya. Para pengajar yang banyak mengajar tentang iman seringkali membuat umat terbuai dalam situasi tertentu saja. Beberapa beriman kepada Kristus, masuk Kristen, hanya karena ingin mendapatkan keadaan yang baik. Beberapa lainnya malah mengingkari imannya karena keadaan buruk menimpanya.
Sejatinya Yesus mengajarkan kehidupan beriman yang sangat jauh berbeda dari bayangan orang-orang. Sebuah tindakan iman yang ekstrim, namun di situ menunjukkan kualitas iman kita yang sesungguhnya. Bukan iman yang besar, tapi iman yang benar. Iman yang benar dapat bertumbuh dalam berbagai keadaan dan apapun juga perasaannya. Bukan hanya pada saat menerima sesuatu, namun bertindak sesuatu, melepaskan sesuatu dan ketika harus kehilangan sesuatu. Kiranya dalam pembahasan materi khotbah kali ini, umat memahami dan menjalani hidup beriman yang benar, dengan tetap berpengharapan pada Kristus.