Pada hari Minggu ini, gereja merayakan Minggu Kristus Raja. Minggu Kristus Raja merupakan puncak dan penutup tahun liturgi. Peziarahan iman umat pada satu tahun liturgi ditutup dengan pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Raja. Setelah perayaan Minggu Kristus Raja, gereja akan memasuki tahun liturgi yang baru dengan memasuki Minggu-minggu Adven dan kemudian merayakan peristiwa Natal, kelahiran Kristus Sang Raja.
Kebesaran Kristus Sang Raja tentulah sangat diyakini oleh gereja. Tidak ada yang meragu bahwa Yesus adalah Raja yang besar, yang agung dan mulia. Namun, pada Minggu Kristus Raja ini, kebesaran Yesus sebagai Raja yang menyelamatkan itu ditampilkan dalam wajah yang penuh dengan hinaan dan olok-olok. Yesus yang kita akui sebagai Raja itu ternyata disalibkan di tempat eksekusi para penjahat dan disalibkan di antara para penjahat.
Sebutan Yesus sebagai Raja seakan hanya hinaan dan olok-olok semata sebab Yesus yang adalah Raja itu ternyata justru “berakhir” dengan tragis dalam kematian di kayu salib. Yesus Sang Raja itu tidak menuruti tantangan banyak orang yang ingin melihat-Nya sebagai Raja yang perkasa dan digdaya, yang sanggup turun dari salib dan membuktikan bahwa la Raja yang besar. Kebesaran Yesus ditunjukkan bukan dengan memamerkan keperkasaanNya. Kebesaran Yesus sebagai Raja yang menyelamatkan ditunjukkan manakala la tetap mengucapkan kalimat welas asih yang penuh pengampunan kepada orang-orang yang tengah melakukan kejahatan kepada-Nya.
Kebesaran Yesus sebagai Raja ditunjukkan-Nya dengan menyatakan pengampunan dan keselamatan kepada salah satu penjahat yang diminta untuk diingat ketika Yesus datang sebagai Raja. Kebesaran Yesus sebagai Raja ditunjukkan-Nya dalam kesetiaan-Nya melaksanakan karya keselamatan, pengampunan dan pendamaian Allah bagi seluruh dunia. Dialah Raja kita, Raja yang menyelamatkan.