Minggu, 15 September 2024

Murid yang Sejati
Yesaya 50: 4–9; Mazmur 116: 1–9; Yakobus 3: 1–12; Markus 8: 27–38

Tidak banyak orang yang benar-benar menyadari bahwa perbuatan dan kelemahannya adalah dampak dari ketidaktahuannya. Fenomena “gagal paham” dan asbun (asal bunyi) membuktikan bahwa seringkali manusia bertindak tanpa pemahaman yang benar. Ketika seseorang gagal memahami dengan benar, besar kemungkinan perkataannya akan menjadi sesuatu yang sia-sia dan bahkan menghasilkan respons atau perbuatan yang tidak benar. Karenanya, seseorang perlu memahami betul apa yang dia katakan dan lakukan, sehingga menampakkan satu keutuhan nilai dan mutu. Lidah bukan sekadar alat untuk ‘menciptakan’ kata-kata, sebab melaluinya kita dapat menyampaikan pesan, pendapat, maksud dan tujuan yang baik pada orang lain. Telinga juga tidak hanya berfungsi sebagai alat pendengaran, tetapi juga pembelajaran hidup. Begitu pula dengan tangan; ia mewujudkan keyakinan dan kebenaran yang sejati itu dalam perbuatan yang bernilai guna bagi dunia.

Bacaan leksionari kita memperlihatkan sudut-sudut penting terkait murid yang sejati; keselarasan antara pemahaman, perkataan, dan perbuatan. Bacaan Injil Markus 8: 27–38 memperlihatkan kisah pengakuan dan sekaligus pengenalan para murid terhadap pribadi Yesus. Untuk pertama kalinya, para murid —yang diwakili oleh Petrus— mengakui kemesiasan Yesus. Namun, pengakuan Petrus itu ternyata belum ‘sejalan’ dengan konsep Mesias yang sesungguhnya, sehingga Petrus ditegur oleh Yesus. Pengakuan akan Tuhan semestinya selaras dengan maksud dan tujuan Tuhan itu sendiri. Lidah semestinya tidak hanya melahirkan janji dan pengakuan, tetapi juga komitmen yang kuat terhadap panggilan Tuhan dalam hidup sehari-hari sebagai murid-Nya. Oleh karenanya, Yesaya 50: 4–9 kemudian mengingatkan kita untuk belajar menempatkan diri sebagai murid; memiliki Iidah dan pendengaran layaknya seorang murid, yang terbuka serta tidak berhenti untuk terus belajar. Sebelum kita berkata-kata dengan Iidah, ada baiknya untuk kita pertama-tama mengasah pendengaran itu di hadapan Allah. Hal itu dilakukan supaya dengan perkataan itu, kita dapat “memberikan semangat baru kepada orang yang letih lesu” (Yes. 50:4). Pun bacaan kedua, Yakobus 3: 1–12, menggambarkan pentingnya peranan Iidah dan perkataan itu dalam kehidupan. Memperhatikan Iidah adalah bagian dari kebijaksanaan hidup. Dengan memperhatikan keselarasan antara pikiran, perkataan dan berbuatan, kita sedang membangun diri kita dan kehidupan layaknya seorang murid yang sejati. (YAW)

gkibintama
gkibintama
No events to display.
No events to display.