Bertumbuh dalam Kebiasaan Positif
1 Tesalonika 2: 1–8
Sukacita terbesar orang tua adalah melihat anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang matang, baik dan penuh kasih sayang. Ada kelegaan dan kebangaan tersendiri bagi para orang tua ketika seseorang menyatakan bahwa anak-anaknya yang selama ini diasuh dalam cinta kasih telah menjadi pribadi yang baik. Seakan-akan jerih payahnya selama ini telah terbayarkan/ tidak sia-sia dan ada sebuah harapan dalam benak para orang tua yang telah terwujud yaitu menolong anak-anaknya menjadi “orang” (pribadi yang baik, berguna dan berdampak positif).
Harus diakui bahwa latar belakang dan pengalaman seorang anak dapat memengaruhi cara memandang, bersikap dan berbuat. Sebagai contoh, jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan keluarga yang baik, penuh dengan perhatian dan kasih sayang, maka ia akan tumbuh menjadi pribadi yang baik dan mengasihi. Sebaliknya jika anak terbiasa dengan kebohongan maka ia akan menganggap kebohongan adalah hal yang benar dan tidak mengapa jika dilakukan. Tentu kita tidak ingin anggota keluarga kita menjadi demikian dan akhirnya berujung pada masalah yang besar.
Namun sayang, di zaman yang semakin canggih ini, kehidupan manusia cenderung semakin konsumtif. Hal ini memengaruhi etos kerjanya dalam mencukupkan kebutuhan-kebutuhannya. Orang tua terpaksa atau dipaksa bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya dan akhirnya kurang memberi perhatian kepada anak-anaknya. Ketika anak-anak dibiarkan tanpa perhatian dan panduan yang jelas, mereka dapat saja menyimpulkan tayangan-tayangan yang ditontonnya sebagai cara-cara yang benar dan dapat dilakukan (ada orang yang berkata: YouTube dan Tiktok menjadi “guru” yang setia menemani 24 jam). Padahal apa yang dilihat mereka belum tentu benar. Pengaruh-pengaruh yang buruk dapat menguasai mereka dan memungkin bahwa mereka menganggap kebiasaan yang buruk sebagai kebiasaan yang baik dan benar. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, sangat mungkin peribahasa anak polah bapa kepradah (orang tua menanggung malu akibat dari tindakan yang telah dilakukan oleh sang anak) terjadi.
Kita sebagai gereja tentu tidak ingin salah satu anggota keluarga gereja mengalami hal itu. Gereja perlu menjadi rekan bagi orang tua dan keluarga dalam memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak yang juga adalah anggota gereja. Di minggu terakhir bulan keluarga ini kita diingatkan betapa pentingnya mengasuh anak-anak agar kelak mereka menjadi pribadi yang baik dan benar di hadapan Tuhan. Pengasuhan melalui perhatian yang penuh cinta, kebiasaan-kebiasaan positif dan keteladanan merupakan pekerjaan tiada henti yang akan mengubah hidup baik anak maupun orang tua.
Sebagai pendiri Jemaat di Tesalonika, relasi Paulus sangat dekat dengan mereka. Nasihat- nasihat yang diberikannya seperti nasihat dari orang tua kepada anaknya (1 Tes. 2:7). Paulus tidak ingin Jemaat tersebut menjadi orang-orang Kristen yang gagal di tengah tantangan dan godaan yang membuat iman mereka kepada Kristus tidak bertumbuh. Ia mengingatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah dipilih Allah (1 Tes. 1:4). Untuk itu mereka harus hidup berkenan kepada Allah (4:1). Dan dalam perikop yang akan kita renungkan minggu ini, Paulus menekankan pentingnya berlaku ramah seperti seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya (2:8). Paulus memberikan nasihat dan keteladanan tentang hidup beriman kepada Kristus dengan membiasakan diri melakukan kebiasaan yang baik dan positif yaitu mengasuh, bersikap ramah dan tekun dalam pemberitaan Injil serta mengandalkan Tuhan dan mendoakan. (DS)