Yang Terbesar, Yang Melayani
Yeremia 11: 18–20; Mazmur 54; Yakobus 3: 13–4: 3, 8; Markus 9: 30–37
Siapa yang benar-benar mau menjadi seorang pelayan? Rasanya akan lebih menguntungkan dan membahagiakan bila kitalah yang dilayani. Dewasa ini, manusia makin sulit untuk melayani dan menolong orang lain. Ini terjadi karena ego yang terlalu berlebihan. Dalam peristiwa yang sederhana, kita kerap melihat kegagalan manusia untuk peduli, misalnya dari beberapa video dokumenter di media sosial yang menunjukkan ada orang-orang yang sangat tidak peduli ketika ambulans berniat untuk lewat. Memang benar, pada dasarnya, setiap manusia memiliki hasrat untuk menjadi yang pertama, terutama, dan lebih dari yang lain. Celakanya, hasrat ini kerap kali membuat manusia terjatuh pada ketidakpedulian. Keinginan untuk menjadi yang utama justru membuat manusia terjebak dalam ambisi harga diri pribadi dan pementingan diri sendiri. Harga diri bagi banyak orang merupakan pencobaan yang lebih besar daripada kekayaan. Merasa perlu dihormati, diutamakan, dilayani, dimintai pendapatnya, dikenal bahkan dipuji-puji, sangat didambakan banyak orang. Ketika seseorang terjebak dalam pemusatan diri sendiri atau memperhatikan kepentingannya sendiri, ia juga akan cenderung berbenturan dengan orang lain. Bila setiap orang menganggap kehidupan dunia ini sebagai sebuah ladang persaingan yang harus ia menangkan, ia akan menganggap orang lain sebagai musuhnya, atau paling tidak menganggap orang lain sebagai saingan yang harus disisihkan/ disingkirkan. Pemusatan diri sendiri berarti, mau tidak mau, meniadakan orang lain. Akibatnya tujuan hidupnya bukan lagi untuk menolong dan melayani orang lain, melainkan menyisihkan orang lain.
Inilah yang Yesus ingin ajarkan dan ingatkan kepada para murid-Nya. Dalam beberapa kali kesempatan, kita melihat para murid Yesus bergumul dalam ‘kontestasi kekuasaan’. Mereka berlomba-lomba menjadi protos (Yunani: yang terkemuka, yang terbesar) dalam komunitas mereka. Jika kerajaan dunia memperlihatkan “kemuliaan” yang diraih dengan cara mengejar kekuasaan dan posisi utama, Yesus mengajarkan sebaliknya, yaitu dengan cara melayani orang lain. Di titik ini, Yesus memberikan satu teladan pemuridan yang baru, sebuah counter culture dari common culture, yaitu “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” Yesus tidak ingin para murid melekatkan jati dirinya pada kebesaran, kemuliaan, atau kekuasaan dunia. Kemuliaan sejati tidak terdapat dalam segala kebesaran yang dipuja dan diperebutkan orang, tetapi dibuktikan dengan kesediaan dan kerelaan untuk berkorban, khususnya bagi mereka yang “tidak terkemuka”, lemah, dan paling akhir. (YAW)