Solidaritas yang Menular
2 Raja-Raja 4: 42–44; Mazmur 145: 10–18; Efesus 3: 14–21; Yohanes 6: 1–21
Pandemi Covid-19 yang telah berlalu mengajarkan kita banyak hal, salah satunya solidaritas. Di tengah bahaya yang mengancam, banyak orang memiliki kepedulian tinggi kepada sesama yang membutuhkan. Bagaimana tidak, orang-orang mau membagi makanan kepada keluarga yang melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing, padahal bahan makanan saat pandemi menjadi hal yang berharga dan sangat dibutuhkan untuk menjaga tubuh tetap fit dan sehat. Ada pula yang mau membagikan vitamin, masker, atau hal bermanfaat laihnya. Sikap solider itulah yang akhirnya membuat kita bisa bertahan bersama-sama melalui masa penuh ketakutan itu.
Namun dernikian, harus kita akui bahwa dunia modern membua€ orang-orang sernakin memikirkan dirinya sendiri. Orang semakin mementingkan dirinya sendiri dan tak acuh pada Orang lain. Keserakahan menjadi salah satu pemicu utamanya. Rasa takuf akan kekurangan menjadi sebab mengapa orang tega melakukan kecurangan dan korupsi. Suatu kali pernah dilakukan proses hukum pada seorang koruptor, yang akhirnya ketakutan karena asetnya akan disita oleh negara. Bayangkan, ia bisa tidak peduli pada hukumannya, dan lebih takut menjadi miskin dan berkekurangan.
Pada bacaan Injil Minggu ini, terdapat kisah solidaritas yang diawali oleh sebuah ketulusan seorang anak kecil. Kisah mukjizat Yesus memberi Makan 5.000 orang ini memiliki unsur solidaritas yang tinggi. Rasa solidaritas itu akhirnya menular dan akhirnya mampu menyelamatkan ribuan perut yang kosong, bahkan menyisakan dua belas bakul untuk bias dijadikan bekal perjalanan. Dunia memang membutuhkan pemulihan dari penyakit yang bernama abai. Kisah mukjizat memberi makan 5.000 orang ini menjadi sebuah cara pandang baru, untuk menyikapi dunia semakin dingin dan defisit kepedulian. (FTP)