Dosa yang Tidak Dapat Diampuni
Kejadian 3: 8–15; Mazmur 130; 2 Korintus 4: 13–5: 1; Markus 3: 20–35
Kebencian adalah salah satu perusak hidup manusia. Kebencian menghadirkan ketidakpercayaan dan kebohongan. Ketika kebo hongan yang didasari oleh kebencian itu merajalela, lahirlah berita hoax yang memecah persatuan. Belum hilang dari ingatan kita berita hoax yang muncul menjelang pilpres yang lalu, yang ditujukan untuk menghasut para pemilih. Fakta-fakta dibelokkan secara masif dan terstruktur. Berita bohong disebarluaskan untuk menimbulkan saling curiga satu sama lain. Para pelaku penyebar kebohongan melakukannya dengan tidak merasa bersalah karena mereka mendapatkan keuntungan. Inilah pola kebohongan yang kerap kali terjadi di media sosial. Dengan tema kebohongan yang berbeda, banyak hate speech yang masih banyak beredar dengan mudah. Oleh karena itu, UU ITE diciptakan khusus untuk mengatur secara hukum setiap pelanggaran penyebaran berita kebencian dan berita kebohongan di tengah masyarakat. Memutarbalikkan fakta dan menyebar berita kebohongan adalah tindakan fatal yang merusak hidup manusia.
Memutarbalikkan fakta secara sengaja dan sadar adalah dosa yang fatal di hadapan Tuhan. Inilah yang dilakukan oleh para orang Farisi di dalam Markus 3: 20–35. Mereka dengan sadar menuduh Yesus sebagai seseorang yang melakukan pekerjaan Belzebul. Inilah yang membuat Yesus menegur mereka. Dalam teguran Yesus inilah keluar sebuah pernyataan yang cukup terkenal, “Namun, siapa saja yang menghujat Roh Kudus tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa yang kekal” (Markus 3: 29 TB2). Teguran Yesus ini kemudian menjadi salah satu pokok pembahasan penting mengenai arti dari dosa yang tidak dapat diampuni. Ini akan diperdalam juga dengan mengangkat kisah kejatuhan Adam dan Hawa dalam Kejadian 3: 8–15. Pada kedua teks inilah tafsiran leksionari akan difokuskan. (KH)