Minggu, 3 Desember 2023

Menanti dalam Pengharapan dan Penyerahan Diri
Yesaya 64: 1–9; Mazmur 80: 2–8, 18–20; 1 Korintus 1: 3–9; Markus 13: 24–37

Tema minggu Advent pertama ini adalah Menanti Dalam Pengharapan dan Penyerahan Diri. Berita pertama yang perlu disampaikan di sini adalah bagaimana menumbuhkan spiritualitas adven yang terinsiparasi dari spirit hidup Jemaat mula-mula. Mereka berharap bahwa Kristus akan segera datang kembali ke dunia. Pengharapan itu sangat kuat disertai keyakinan bahwa pada saat Kristus datang kembali orang percaya akan masuk ke dalam kehidupan baru dengan “langit baru dan bumi baru” yang penuh damai dan sejahtera; suatu kehidupan sorgawi yang sangat dirindukan.

Kedua, memberi sedikit penjelasan tentang arti kata Adven, kapan dan bagaimana adven harus dilaksanakan. Ketiga, memberikan ulasan tentang sikap merayakan Adven yang tepat, berdasarkan bacaan Injil Markus 13:24-37. Bagian ini terdiri dari dua perikop berisi peringatan dan nasihat. Pada perikop pertama penulis Injil Markus menggambarkan bagaimana peristiwa kedatangan Anak Manusia akan terjadi. Dilihat dari cara penyampaiannya, kedatangan Anak Manusia ditandai dengan peristiwa kegelapan dan kegoncangan di bumi yang dahsyat. Namun di balik kegelapan menyelimuti bumi, tersembullah cahaya terang yang menandai datangnya Anak Manusia, salah satu sebutan untuk Tuhan Yesus, yang akan mengubah keadaan bumi menjadi lebih baik. Dalam kesempatan yang berbeda, kedatangan Anak Manusia akan menjadikan langit dan bumi baru. Tapi masalahnya, kapan persisnya Anak Manusia itu datang, tidak ada satu orang pun yang tahu. Yang tahu hanya Bapa sendiri.

Berkaitan dengan ketidaktahuan kapan Anak Manusia datang kembali. Di dalam perikop kedua digambarkan seperti seorang tuan yang pergi meninggalkan rumahnya dengan mempercayakan keselamatan rumahnya kepada para hambanya sesuai dengan tugasnya masing-masing. Ini akan kita jadikan fokus pemberitaan khotbah ini. Dari gambaran yang demikian, kita disadarkan bahwa soal waktu kapan tuan kita datang, itu menjadi tidak penting. Yang terpenting adalah ketika tuan kita sudah mempercayakan tanggung jawab demi keselamatan rumah-Nya (Oikos-Nya) itu yang harus kita kerjakan dengan penuh tanggung jawab.

Di dalam ilmu oikumenika, kata oikumene berasal dari kata oikos yang berarti rumah dan mene (dari meno) yang berarti tinggal. Oikomene berarti tinggal serumah. Kata ini menunjuk pada alam semesta yang digambarkan bagaikan sebuah rumah yang didiami oleh seluruh unsur ciptaan yang ada di dalamnya. Jadi, kata oikos atau rumah di sini menunjuk pada dua sisi, yakni gereja sebagai oikos atau rumah semua pengikut Yesus, dan bumi sebagai oikos atau rumah bersama seluruh ciptaan Tuhan. Dalam konteks ini, kita lebih setuju oikos yang dimaksud adalah bumi. Bumi yang kondisinya tidak baik-baik saja, supaya dijaga dan dirawat agar menjadi baik kembali, yang bisa ditempati oleh seluruh ciptaan Tuhan dengan penuh kedamaian dan keadaban. Dengan demikian, jika suatu saat nanti Sang Empunya Rumah datang, kita selalu dalam keadaan terjaga dan telah mengerjakan bagian kita dengan baik. Bagi hamba yang baik dan bertanggung jawab, Tuhan sudah menyediakan pesta yang luar biasa di Rumah-Nya. (YABS)

gkibintama
gkibintama
No events to display.
No events to display.